Kembang-api terindah di malam itu,
Tahun baru
Kembang-hati tercinta di tahun biru,
Itu kamu
(Januari 2012)
Berjalan-jalan di pantai
Nyiur-nyiur bergerai
Angin-angin bersepoi
Pindang-pindang bersantai
Angan-angan meng-andai
Ingus melambai-lambai
(Mei 2010)
Malam ini puisi sedang bernyanyi.
Tidak seperti biasanya, suaranya merdu sekali.
Mungkin karena para cengkerik yang sembunyi di balik jerami,
katak-katak berlompatan di kali,
atau sinar rembulan yang putih menyoroti.
Sedangkan penyair mencoba membuatnya abadi.
Lebih abadi dari panci yang dia tanam kembali.
(2009)
PUSPA = Puisi pendek dan asal
===========================
Sambal Hidup
Lahap sudah
makannya
tinggal ingusnya
(2009)
———————————–
Kepada Puisi
:joko pinurbo
Kau adalah hidung, aku ingusmu.
(2009)
———————————–
Baru kali ini aku malam-malam begini menemui puisi,
dengan diam-diam menanyakan dimana panci.
“Dia tadi pamit terjun ke jurang, katanya bokongnya panas habis kau tendang tadi siang.”
Ah, panci, kau ini.
kau kutendang siang hari, kau kusayang saat sendiri.
Hidungku rindu padamu di malam hari.
Rindu menyimpan ingus-ingus kristal biar badanku kembali sintal.
Rindu menanak anak-anak ingus biar pipiku kembali kurus.
Rindu melumuri bokongmu yang kutendang biar ingus tak pernah merasa kurang.
Rindu memasukkanmu ke kulkas biar ingus kristal semakin berkelas.
Rindu memanaskanmu di kompor biar ingusku bisa molor.
Rindu ….
….
Belum selesai dia bicara tiba-tiba di dinding-dinding puisi menggema teriakan panci sedang terjun ke lubang hidungnya.