Berjalan di pantai
May 2, 2010

Berjalan-jalan di pantai
Nyiur-nyiur bergerai
Angin-angin bersepoi
Pindang-pindang bersantai
Angan-angan meng-andai

Ingus melambai-lambai

(Mei 2010)

Akhir dari keterasingan
June 18, 2009

Suatu hari ditemukan seorang laki-laki mati bunuh diri dengan minta bantuan tali. Lehernya terjerat. Ingusnya menggantung.

Kata saksi, itu ingus palsu yang baru dibeli kemarin pagi. Hidungnya juga tak mengakui itu ingusnya ketika ditanyai.

Untungnya didekatnya ditemukan bukti. Sepatah catatan kaki yang kelihatan baru dipakai menggosok bokong panci yang ditulisi:

“Hidup ini tak lebih dari sekedar keterlaluan.
Orang-orang semuanya ingusan sedangkan cuma aku saja yang berwajah tampan.
Aku benar-benar sudah tak tahan.”

Catatan kaki itu kemudian ditahan polisi: melumurinya dengan ingus untuk diperiksa sidik jari.
Melacak kepergian puisi.

Panciku sayang
June 17, 2009

Baru kali ini aku malam-malam begini menemui puisi,
dengan diam-diam menanyakan dimana panci.
“Dia tadi pamit terjun ke jurang, katanya bokongnya panas habis kau tendang tadi siang.”

Ah, panci, kau ini.
kau kutendang siang hari, kau kusayang saat sendiri.
Hidungku rindu padamu di malam hari.

Rindu menyimpan ingus-ingus kristal biar badanku kembali sintal.
Rindu menanak anak-anak ingus biar pipiku kembali kurus.
Rindu melumuri bokongmu yang kutendang biar ingus tak pernah merasa kurang.
Rindu memasukkanmu ke kulkas biar ingus kristal semakin berkelas.
Rindu memanaskanmu di kompor biar ingusku bisa molor.
Rindu ….
….

Belum selesai dia bicara tiba-tiba di dinding-dinding puisi menggema teriakan panci sedang terjun ke lubang hidungnya.

Petani
June 15, 2009

Pohon kecipir dan pohon semangka di pinggir jalan saling bertegur puasa. Menanyakan bagaimana masing-masing kabar akarnya.
“Apakah petani sudah berbuka?”

Di tengah-tengahnya duduk seorang pria sedang mencabuti akar-akar gelisah. Terlihat dari teras wajahnya dia telah bekerja keras di bawah terik kefanaan selama dua atau tiga masa di dalam rasa-nya.

Ketika akar-akar yang dicabutinya ganti berbunga di dalam tubuhnya, tiba-tiba saja ia bangkit lalu bergurat tawa. Tawanya memanen tunas gelisah dengan harga yang jauh tak terkira.

Dari kejauhan tampak siluet hitam berlenggak-lenggok memecah barisan-barisan sajaknya. Berlatar belakang gundukan lingkaran kuning merah, siapa sangka ribuan kata yang telah disusunnya selama dua atau tiga masa di dalam rasa-nya ternyata bisa diganti hanya dengan tiga kalimat saja.

“Ah, indahnya.
Aku tahu itu dia si wanita.
Ingus tercantik di dunia.”

Pohon kecipir dan pohon semangka di pinggir jalan saling bertegur puasa. Menanyakan bagaimana masing-masing kabar akarnya.
“Apakah petani sedang berbuka?”

Di tengah-tengahnya duduk seorang pria
sedang meniup-niup
ingus tercantik di dunia.